Sejarah
Tafsir Al-Quran Pada Periode Tabi'in.
Setelah kepemimpinan khulafatur
Rosyidin berakhir, masa pemerintahan kemudian dipegang oleh generasi berikuynya
yaitu generasi Tabi’in yang tentunya segala urusan yang terjadi pada masa
sahabat berganti alih kepada masa Tabi’in. Begitu juga mengenai hal ilmu-ilmu
yang telah berkembang pada masa itu yang tentunya diteruskan oleh para Tabi’in
sesuai dengan bidangnya masing-masing. Khususnya juga dalam hal ilmu tafsir
yang akan dibahas pada makalah ini. Dalam hal penafsiran yang pada masa ke masa
telah mengalami perkembangan yang sangat pesat. Hal ini dikarenakan penafsiran
pada masa sahabat diterima baik oleh para ulama dari kaum Tabi’in di berbagai
daerah kawasan Islam. Dan pada akhirnya mulai muncul kelompok-kelompok ahli
tafsir di Makkah, Madinah, dan di daerah lainnya yang merupakan tempat
penyebaran agama Islam pada masa Tabi’in. Masa ini terjadi kira-kira dari tahun
100 H/723 M-181 H/812 M yang ditandai dengan wafatnya Tabi’in terakhir, yaitu
Khalaf bin Khulaifat (w.181 H), sedangkan generasi Tabi’in berakhir pada tahun
200 H.
Metode penafsiran yang digunakan
pada masa ini tidak jauh berbeda dengan masa sahabat, karena para tabi’in
mengambil tafsir dari mereka. Dalam periode ini muncul beberapa madrasah untuk
kajian ilmu tafsir diantaranya:
1. Madrasah Makkah atau Madrasah
Ibnu Abbas. Timbulnya madrasah ini dari Ibnu Abbas sebagai guru diMekah
mengajarkan tafsir al-Quran kepada para tabi’in dan menjelaskan hal yang
musykil dari makna lafadz al-Quran, kemudian oleh tabi’in menambahkan
pemahamannya sendiri kemudian titafsirkan ke generasi berikutnya. Keistimewaan
madrasah ini antara lain; (1) dalam hal qira’at, madarasah ini menggunakan
qiroat yang berbeda-beda, (2) Metode penafsirannya menggunakan dasar aqliy.
Murid-murid beliau diantaranya:
Mujahid bin Jubair
Said bin Jubair
Ikrimah Maula ibnu
Abbas
Towus Al-Yamany, dan
‘Atho’ bin Abi Robah.
2. Madrasah Madinah atau Madrasah
Ubay bin Ka’ab, yang menghasilkan pakar tafsir seperti
Zaid bin Aslam
Abul ‘Aliyah, dan
Muhammad bin Ka’ab
Al-Qurodli.
kemudian kepada mereka bertiga
inilah para Tabi’in yang lain dan Tabi’ut Tabi’in belajar tafsir. Munculnya
madrasah ini berawal dari para sahabat yang menetap di Madinah melakukan
tadarus berjamaah dalam al-Qurn dan Sunnah diikuti oleh tabi’in yang memfokuskan
perhatiaannya kepada Ubay bin Ka’ab yang dinilai masyhur dalam menafsirkan
al-Quran kemudian diteruskan ke generasi berikutnya. Keistimewaan madrasah ini
antara lain; (1) telah ada sistem penulisan naskah dari Ubay bin Ka’ab lewat
Abu Aliyah lewat Rabi’ oleh Abu Ja’far Ar Roziy dan juga Ibnu Jarir, Ibnu Abi
Hatim dan Al Hakim banyak meriwayatkan tafsir dari Ubay lewat Abu ‘Aliyah. (2)
Telah berkembang ta’wil terhadap ayat-ayat al-Quran, sebagaimana diucapkan oleh
Ibnu ‘Aun tentang penta’wilan Muhammad bin Ka’ab Al-Quradliy. (3) Penafsiran
birro’yi telah digunakan. Terbukti Tokoh Zaid bin Aslam membolehkan penafsiran
bir ro’yi namun bukan seperti madzhab bidiy pada period mutaakhiriin.
3. Madrasah Iraq atau Madrasah Ibnu
Mas’ud, diantara murid-muridnya yang terkenal adalah
Al-Qomah bin Qois
Hasan Al-Basry, dan
Qotadah bin Di’amah
As-Sadusy.
Meskipun di sana ada guru tafsir
dari Sahabat-sahabat yang lain, Ibn Mas’ud lah yang dianggap sebagai guru
tafsir pertama di Iraq dan di Kuffah. Madrasah ini timbul ketika Khalifah Umar
menunjuk Ammar bin Jasin sebagai gubernur di Kufah, Ibnu Mas’ud saat itu
ditunjuk sebagai guru atau mubaligh yang dalam penafsiran al-Qur’an banyak
diikuti oleh tabi’in Iraq disamping kemasyhuran beliau juga karena tafsirnya
banyak dinulkilkan kepada generasi selanjutnya. Madrasah ini juga memiliki
keistimewaan dianaranya; (1) Semaikin banyak ahli ra’yi. (2) banyak masalah
khilafiyah dalam penafsiran al-Quran diakibatkan warna ro’yi tersebut. (3)
Timbullah metode istid-lal sebagai kelanjutan dari adanya khilafiyah penafsiran
al-Qur’an.
Tafsir yang disepakati oleh para
tabiin bisa menjadi hujjah, sebaliknya bila terjadi perbedaan diantara mereka
maka satu pendapat tidak bisa dijadikan dalil atas pendapat yang lainnya.
Ibnu Taimiyah berkata, “Syu’bah bin
Hajjaj & lainnya berpendapat : “Pendapat para tabi’in itu bukan hujjah.”
Maksudnya, pendapat-pendapat itu tidak menjadi hujjah bagi orang lain yang
tidak sependapat dengan mereka. Inilah pendapat yang benar. Namun jika mereka
sepakat atas sesuatu, maka tidak diragukan lagi bahwa kesepakatan itu merupakan
hujjah.”
Dalam mempelajari Al-Qur’an dan
memahami maksud yang terkandung di dalam ayat-ayatnya serta tafsirnya, para
Tabi’in berlandaskan pada ayat Al-Qur’an, hadits-hadits yang diriwayatkan
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam, dan tafsir yang diberikan oleh para
sahabat Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam serta cerita-cerita dari
para ahli kitab yang bersumber dari isi kitab mereka. Di samping itu mereka berijtihad
atau menggunakan pertimbangan naluri, baik bersandaran pada kaidah-kaidah
bahasa Arab maupun ilmu-ilmu pengetahuan lain sebagaimana yang telah
dianugerahkan oleh Allah Subhanhu Wa Ta'ala.
Secara umum kitab-kitab tafsir
menginformasikan bahwa pendapat-pendapat Tabi’in tentang tafsir yang mereka
hasilkan melalui penalaran dan ijtihad yang independen. Artinya, penafsiran
mereka ini sedikitpun tidak berasal dari Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa
Sallam atau dari Sahabat. Pada pembahasan sebelumnya disebutkan bahwa tafsir
yang dinukil dari Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam dan para Sahabat
tidak mencakup semua ayat Al-Qur’an. Mereka hanya menafsirkan bagian-bagian
yang sulit dipahami bagi orang-orang yang semasa dengan mereka. Kemudian
kesulitan ini semakin meningkat secara bertahap disaat manusia bertambah jauh
dari masa Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam dan Sahabat. Maka para
Tabi’in yang menekuni bidang tafsir perlu untuk menyempurnakan sebagian
kekurangan itu. Hal ini juga terjadi pada masa-masa selanjutnya. Untuk
menyempurnakan penafsiran sebelumnya mereka mengandalkan pada pengetahuan
mereka dengan cara dalam bahasa Arab maupun cara bertutur kata, dan juga
peristiwa-peristiwa yang terjadi pada masa turunnya Al-Qur’an yang mereka pandang
belum valid.
Dengan demikian, sumber-sumber
penafsiran pada zaman Tabi’in meliputi 5 sumber, yaitu :
Al-Qur’an
Hadits-hadits Nabi
Muhammad saw
Tafsir dari para
Sahabat
Cerita-cerita dari
para ahli kitab
Ra’yu dan ijtihad
Dilihat dari sumber-sumbernya
tersebut tafsir pada masa Tabi’in umumnya berbentuk al-matsur, seperti halnya
pada masa Sahabat. Jika dilihat dari sudut cara penafsiran secara umum tafsitan
mereka menggunakan metode ijmali. Metode ini agak lebih luas jika dibandingkan
dengan tafsir pada masa Sahabat yang menggunakan metode tahlili. Sehingga pada
masa ini mulai ada perbedaan antara penafsiran masa Sahabat dan masa Tabi’in
yang kemudian diikuti dengan adanya tafsir bil ra’yi.
Artikel kamu bagus gan! aku selalu menunggu artikel kamu.. Seperti artikel berjudul Tafsir Mimpi Ikan
BalasHapus