KLASIFIKASI TAFSIR
BERDASARKAN SUMBER
KLASIFIKASI TAFSIR
BERDASARKAN SUMBER
Tafsir Bil Ma'tsur
dan Tasfir Bir Ra'yi
(kelebihan dan
kekurangannya)
I. PENDAHULUAN
Al-Qur'an
adalah kalam Allah SWT yang berfungsi sebagai petunjuk bagi manusia. Sebagai
kalam Allah SWT yang notabene berbeda dengan kalam manusia, tentu hanya Dialah
satu-satunya yang paling mengerti maksudnya. Sebagai petunjuk hidup, tentu
manusia harus berupaya memahaminya dengan pemahaman yang mendekati pemiliknya.
Pada konteks seperti inilah, tafsir atas ayat-ayat Al-Qur'an diperlukan.
Dalam
perspektif 'ulum al-Qur'an, setidaknya ditemukan dua terminology penafsiran
yang sering digunakan yaitu tafsir bil ma'tsur dan tafsir bir ra'yi. Tafsir bil
ma'tsur diartikan sebagai tafsir yang dilakukan dengan jalan riwayat, yakni
tafsir al-Qur'an dengan al-Qur'an, hadits, pendapat sahabat, atau tabi'in.
Sedangkan tafsir bir ra'yi didefinisikan sebagai upaya menyingkap isi kandungan
al-Qur'an dengan ijtihad yang dilakukan dengan mengapresiasi eksistensi
akal.[1]
Oleh
karenanya perlu kiranya dikaji secara utuh dan mendalam kedua tafsir tersebut
sehingga pemahaman terhadap tafsir tidak dangkal, baik tafsir bil ma'tsur
maupun bir Ra'yi dan pada akhirnya bisa ditemukan titik temu diantara keduanya.
Dari
uraian diatas, maka dalam pembahasan kali ini yang akan dikaji adalah
a. Tafsir
bil ma'tsur
b. Tafsir bir
Ra'yi
c. Kelebihan
dan kekurangan keduanya
II. PEMBAHASAN
Secara tekstual tafsir bisa berarti jelas, nyata, terang,
dan memberikan penjelasan. Sedangkan kaitannya dengan al-Qur'an, tafsir
diartikan sebagai penjelasan maksud yang sukar dari suatu lafadh atau ayat
al-Qur'an. Tegasnya, tafsir sesungguhnya merupakan upaya untuk memahami
pesan-pesan al-Qur'an.[2]
Tentu perlu kiranya sebelum mengetahui apa kelebihan dan
kekurangan dari tafsir bil ma'tsur ataupun bir ra'yi, maka kami uraikan
keduanya sehingga bisa bisa dipahami maksud dari kedua tafsir tersebut, sebagai
berikut:
A. Tafsir bil Ma'tsur
Tafsir bil ma'tsur ialah tafsir yang berdasarkan pada
Al-Qur'an atau riwayat yang sahih yang sesuai dengan urutan dalam syarat-syarat
mufassir. yaitu menafsirkan al-QUr'an dengan al-Qur'an, Al-Qur'an dengan
sunnah, perkataan sahabat karena merekalah yang paling mengetahui kitabullah,
atau dengan pendapat tokoh-tokoh besar tabi'in. Pada umumnya mereka menerimanya
dari para sahabat[3].
Imam Al-hakim berkata; "sesungguhnya tafsir para
sahabat yang telah menyaksikan wahyu dan turunnya adalah memiliki hukum marfu'
artinya, bahwa tafsir para sahabat itu mempunyai kedudukan hukum yang sama
dengan hadis nabawi yang diangkat kepada Nabi SAW. dengan demikian, tafsir
sahabat itu termasuk ma'tsur[4]
Adapun tafsir para tabi'in ada perbedaan pendapat
dikalangan ulama'. sebagain ulama' berpendapat, tafsir itu termasuk ma'tsur
karena para tabi'in berjumpa dengan para sahabat. Ada pula yang berpendapat,
tafsir itu sama saja dengan tafsir bir ra'yi (penafsiran dengan pendapat).
Artinya, para tabi'in itu mempunyai kedudukan yang sama dengan mufassir yang
hanya menfsirkan berdasarkan kaidah bahasa Arab[5]
Terlepas dari
setuju atau tidak setuju dengan pendapat mengenai tafsir bil ma'tsur, yang
menjadi persoalan dalam kajian al-ma'tsur adalah
1. Apakah yang dimaksud dengan al-ma'tsur tersebut,
penafsiran yang telah diberikan Nabi dan para sahabat, atau
2. Menafsirkan al-Qur'an berdasarkan bahan-bahan yang
diwarisi oleh Nabi berupa al-Qur'an dan sunnah serta pendapat sahabat
Dalam hal
yang pertama, ma'tsur menjadi sifat bagi tafsir, dan dalam yang kedua, ma'tsur
menjadi sifat bagi sumber-sumber yang digunakan dalam penafsiran.
Jika yang
pertama diterima, maka tafsir bil ma'tsur ialah sesuatu yang telah baku dan
tidak dapat dikembangkan lagi. Dalam hal ini, tugas mufasir hanya meneliti
sanadnya; apakah sahih atau tidak? jika ternyata sahih, maka penafsiran
tersebut diterima, tapi jika tidak, maka penafsiran itu ditolak. Apabila
pengertian yang kedua diterima, maka tafsir bil ma'tsur dapat dikembangkan
sesuai dengan tuntutan zaman karena dalam pengertian yang kedua itu masih
terbuka bagi ulama untuk mengembangkan pemikiran dalam memahami ayat-ayat
al-Qur'an.
Kedua
pemahaman itu tidak bertentangan karena yang pertama, merupakan pengertian
sempit bagi al-ma'tsur, sementara yang kedua adalah pengertian yang lebih
luas.Walaupun pengertian yang kedua memberikan peluang bagi ulama untuk
berijtihad dalam penafsiran, namun tidak sampai kepada wilayah tafsir bir ra'yi
Dengan perkataan
lain tafsir bil ma'tsur itu tetap menjadikan riwayat sebagai dasar; sedangkan
tafsir bir ra'yi berangkat dari pemikiran (ijtihad), kemudian dicari argument
berupa ayat-ayat al-Qur'an, sunnah Nabi, dan sebagainya untuk mendukung
penafsiran tersebut.[6]
Nabi Muhammad bukan hanya bertugas menyampaikan al-Qur'an,
melainkan sekaligus menjelaskannya kepada umat sebagaimana ditegaskan Allah di
dalam surat al-Nahl ayat 44:
" وَاَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ
لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ ... "
(… dan kami turunkan kepadamu al dzikir (al-Qur'an), agar
kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturnkan kepada mereka…)
dan ayat 64
"وِمَا أَنْزَلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ إِلاَّ لِتُبَيِّنَ
لَهُمُ الَّذِي اخْتَلَفُوْا فِيْهِ .. "
( Dan Kami tidak menurunkan kepadamu al-kitab (al-Qur'an)
ini, melainkan agar kamu menjelaskan kepada mereka apa yang mereka
perselisihkan di dalamnya…..)
Kecuali penafsiran dari Nabi SAW, ayat-ayat tertentu juga
berfungsi menafsirkan ayat yang lain. Ada yang langsung ditunjukkan oleh nabi
bahwa ayat-ayat tersebut ditafsirkan oleh ayat lain; ini masuk kelompok tafsir
bil ma'tsur (tafsir melalui riwayat).
Para sahabat menerima dan meriwayatkan tafsir dari Nabi
SAW secara musyafahat (dari mulut ke mulut), demikian pula generasi berikutnya,
sampai datang masa tadwin (pembukuan) ilmu ilmu Islam, termasuk tafsir sekitar
abad ke-3 H. Cara penafsiran serupa itulah, yang merupakan cikal bakal apa yang
disebut dengan tafsir bil ma'tsur atau disebut juga tafsir bir riwayah[7].
Para sahabat dalam menafsirkan al-Qur'an pada masa ini
berpegang pada:
1). Al-Qur'an
al-Karim
Apa yang dikemukakan secara global di satu tempat di
jelaskan secara terperinci di tempat yang lain. Terkadang pula sebuah ayat
datang dalam bentuk mutlaq atau umum namun kemudian disusul oelh ayat yang lain
yang membatasi atau mengkhususkannya. Inilah ynag dinamakan "tafsir
al-Qur'an dengan al-Qur'an"
2). Nabi
Muhammad SAW
Beliaulah pemberi penjelasan (penafsir) al-Qur'an
otoritas. Ketika para sahabat mendapatkan kesulitan dalam memahami sesuatu
ayat, mereka merujuk kepada Nabi Muhammad SAW
3). Pemahaman
dan ijtihad.
Para sahabat apabila tidak mendapatkan tafsir dalam
al-Qur'an dan sunnah Rasulullah, mereka melakukan ijtihad. Ini mengingat mereka
adalah orang-orang Arab asli yang sangat menguasai bahasa Arab, memahaminya
dengan baik dan mengetahui aspek-aspek ke-balaghah-an yang ada di dalamnya[8]
Kalau di kalangan sahabat banyak yang dikenal pakar dalam bidang tafsir,
di kalangan tabi'in yang notabenenya menjadi murid mereka pun, banyak pakar
dibidang tafsir. dalam menafsirkan, para tabi'in berpegang pada sumber-sumber
yang ada pada masa para pendahulunya di samping ijtihad dan pertimbangan nalar
mereka sendiri
Tafsir
yang dinukil dari Rasulullah dan para sahabat tidak mencakup semua ayat
al-Qur'an. mereka hanya menafsirkan bagain-bagian yang sulit dipahami bagi
orang-orang yang semasa dengan mereka. Kemudian kesulitan ini semakin meningkat
secara bertahap di saat manusia bertambah jauh dari masa nabi dan sahabat. Masa
para tabi'in yang menekuni bidang tafsir merasa perlu untuk menyempurnakan
sebagian kekurangan ini. karenanya
mereka pun menambahkan ke dalam tafsir keterangan-keterangan yang dapat
menghilangkan kekurangan tersebut. Setelah itu muncullah generasi sesudah
tabi'in. generasi ini pun berusaha menyempurnakan tafsir al-Qur'an secara terus
menerus dengan berdasarkan pada pengetahuan mereka atas bahasa Arab dan cara
bertutur kata, peristiwa-peristiwa yang terjadi pada masa turunnya al-Qur'an
yang mereka pandang valid dan pada alat-alat pemahaman serta sarana pengkajian
lainnya[9]
Para
ulama telah menyebutkan syarat-syarat yang harus dimiliki setiap mufassir yang
dapat diringkas sebagai berikut:
a. Akidah
yang benar
b. bersih dari
hawa nafsu
c.
menafsirkan lebih dahulu al-Qur'an dengan al-Qur'an
d. mencari
penafsiran dari sunnah
e. Apabila
tidak didapatkan penafsiran dalamn sunnah, hendaklah melihat bagaimana pendapat
para sahabat
f. Apabila
tidak ditemukan juga penafsiran dalam al-Qur'an, sunnah, dan pandangan para
sahabat, maka sebagaina besar ulama, dalam hal ini, merujuk kepada pendapat
para tabi'in, seperti mujahid bin Jabr, Sa'idn bin Jubair, dan lain-lain
g. Pengetahuan
bahasa Arab yang baik
h. pengetahuan
tentang prinsip-prinsip ilmu yang berkaitan dengan al-Qur'an, seprti ilmu
qira'at
i. pemahaman
yang cermat[10]
Metode tafsir bil
ma'tsur mendasarkan tafsir pada kutipan-kutipan yang shahih sesuai
urutan-urutan persyaratan bagi para mufasir. Yaitu:
1. Menafsirkan Al-Qur’an dengan Al-Qur’an:
Yang pertama-tama adalah dengan mendahulukan penafsiran
Al-Qur’an dengan Al-Qur’an. Metode ini merupakan bentuk tafsir yang tertinggi.
Karena Al-Qur'an merupakan sumber yang paling benar, yang tidak mungkin
terdapat kesalahan di dalamnya.
Contoh, seperti firman Allah:
أُحِلَّتْ لَكُمُ اْلاَنْعَامُ اِلاَّ مَا
يُتْلَى عَلَيْكُمْ
Artinya ; telah dihalalkan bagimu binatang ternak,
kecuali apa yang akan dibacakan kepadamu …. (QS. al-Hajj: 30 )
kata: اِلاَّ مَا يُتْلَى عَلَيْكُمْ
ditafsirkan dengan ayat lain;
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ
وَ لَحْمُ الْخِنْزِيْرِ وِمَاأُهِلَّ لِغَيْرِ اللهِ بِهِ
Artinya; diharamkan bagi kamu (memakan0 bangkai, darah,
daging babi dan (hewan) yang disembelih bukan dengan nama Allah ( QS. al-Maidah
: 3)[11]
2. Menafsirkan Al-Qur’an dengan As-Sunnah/Hadits:
Yang kedua adalah dengan mencari penafsiran berdasarkan
Hadits, karena sesungguhnya Hadits berfungsi sebagai pensyarah dan penjelas
Al-Qur’an.
Allah 'Azza wa jalla berfirman:
اَلَّذِيْنَ اَمَنُوْا وَلَمْ يَلْبِسُوْا
إِيْمَانُهُمْ بِظُلْمٍ أُوْلَئِكَ لَهُمُ الاَمْنُ وَهُمْ مُهْتَدُوْنَ
Artinya; orang-orang yang beriman dan tidak
mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman (syirik), mereka itulah
orang-oramng yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang
mendapat petunjuk (QS. al-An'am: 82)
Nabi
SAW, menafsirkan lafal adh-zulmu (اَلظُّلْمُ
) dengan asy-syirku ( (اَلشِّرْك.penafsiran demikian
dikuatkan oleh firman Allah SWT:
لاَ تُشْرِكْ بِاللهِ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ
عَظِيْمٌ
Artinya : Janganlah kamu menyekutukan Allah, sesungguhnya
mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar ( QS.Luqman:
13)[12]
3. Menafsirkan Al-Qur’an dengan pendapat para sahabat:
Sahabat adalah seorang yang hidup pada masa Rasulullah
hidup, berjumpa dengan beliau, lalu beriman hingga akhir hidupnya. Mereka
inilah yang menyaksikan langsung ketika ayat Al-Qur’an diturunkan, dan juga
mengetahui asbabun nuzul. Sehingga bilamana tidak terdapat penjelasan dalam
Al-Qur’an dan Hadits atas suatu ayat, maka disyaratkan untuk menafsirkan ayat
tersebut dengan menggali pendapat para sahabat.
Contohnya, ketika Ibnu Abbas menafsirkan QS. al-Anfal
ayat 41:
وَاعْلَمُوْ اَنَّمَا غَنِمْتُمْ مِّنْ
شَيْئٍ فَاَنَّ للهِ خُمُسَهُ وَ لِلرِّسُوْلِ وَلِذِى الْقُرْبَى وَالْيَتَمَى وَالْمَسَكِيْنِ
وَابْنِ السَّبِيْلِ اِنْ كُنْتُمْ اَمَنْتُم بِاللهِ وَ مَااَنْزَلْنَا عَلَى عَبْدِنَا
يَوْمَ الْفُرْقَانِ يَوْمَ الْتَقَى الْجَمْعَنِ وَ اللهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ
Artinya: "ketahuilah sesungguhnya apa saja yang
kamuperoleh sebagai rampasan perang, maka sesungguhnya seperlima untuk Allah,
rasul, kerabat rasul, anak yatim, orang miskin dan ibnu sabil, jika kamu
beriman kepada Allah dan kepada apa yang kami turunkan pada hamba kami
9Muhammad0 di hari furqan, yaitu di hari bertemunya dua pasukan. dan Allah maha
kuasa atas segala sesuatu
Ayat diatas menjelaskan bahwa seperlima ghanimah dibagi
untuk : (10 Allah dan rasulnya,(2) kerabat rasul, (3) anak yatim, (40 orang
miskin, (5) ibnu sabil. sedang empat perlima ghanimah dibagi pada mereka yang
ikut perang. Ketika rasulullah hidup seperlima ghanimah dibagi-bagikan kepada
yang berhak menerimanya, seperti yang tercantum diatas. setelah nabi wafat,
gugurlah hak Nabi dan kerabatnya. hal ini berdasarkan pada tradisi para
sahabat: Abu bakar, Uamr bin Khattab, Utsman ibn 'Affan dan 'Ali bin Abi Thalib
dimasa kekhalifahannya mereka membagi ghanimah kepada tiga bagian, yaitu untuk
anak yatim yang bukan dari keluarga bani Muthalib, orang miskin yang bukan
keluarga Bani Muthalib dan kepada Ibnu sabil yang lemah dan membutuhkan
pertolongan[13]
4. Menafsirkan Al-Qur’an dengan pendapat para Tabi’in:
Apabila tidak pula terdapat penafsiran dari para Sahabat,
disyaratkan untuk menafsirkan ayat Al-Qur’an dengan pendapat dari para Tabi’in.
Diantara para Tabi’in ada yang menerima seluruh penafsiran dari Sahabat. Namun,
tidak jarang pula yang mendapatkannya secara istinbat, yaitu penyimpulan, dan
istidlal, yaitu penalaran dalil. Tetapi, yang dapat dijadikan pedoman hanyalah
pada penafsiran yang dinukilkan secara sahih..[14]
Tafsir-tafsir bil ma’tsur yang terkenal antara lain:
Tafsir Ibnu Jarir, Tafsir Abu Laits As Samarkandy, Tafsir Ad Dararul Ma’tsur
fit Tafsiri bil Ma’tsur (karya Jalaluddin As Sayuthi), Tafsir Ibnu Katsir,
Tafsir Al Baghawy dan Tafsir Baqy ibn Makhlad, Asbabun Nuzul (karya Al Wahidy)
dan An Nasikh wal Mansukh (karya Abu Ja’far An Nahhas)[15]
B. Tafsir bir Ra'yi
Setelah
berakhir masa salaf sekitar abad ke-3 H.dan peradaban Islam semakin maju dan
berkembang, maka berkembanglah berbagai mazhab dan aliran di kalangan umat
Islam. masing-masing golongan berusaha meyakinkan umat dalam rangka
mengembangkan paham mereka. Untuk mencapai maksud itu, merka mencari ayat-ayat
al-Qur'an dan hadis hadis Nabi SAW, lalu mereka tafsirkan sesuai dengan
keyakinan yang mereka anut. Ketika inilah berkembang apa yang disebut dengan
tafsir bir ra'yi ( tafsir melalui pemikiran atau ijtihad)[16]
Pendek kata,
berbagai corak tafsir bir ra'yi muncul di kalangan ulama-ulama mutaakhirin,
sehingga di abad modern lahir lagi tafsir menurut tinjauan sosiologis dan sains
seprti tafsir al-manar dan al-jawahir. melihat perkembangan tafsir bir ra'yi
yang demikian pesat, maka tepatlah apa yang dikatakan manna' al-Qathtan bahwa
tafsir bir ra'yi mengalahkan perkembangan al-ma'tsur.[17]
Meskipun
tafsir bir ra'yi berkembang dengan
pesat, namun dalam menerimanya para ulama terbagi dua: ada yang membolehkan dan
ada pula yang melarangnya. Tapi seletah diteliti, ternyata pendapat yang
bertentangn itu hanya bersifat lafzi (redaksional). maksudnya kedua belah pihak
sama-sama mencela penafsiran yang berdasarkan ra'yi ( pemikiran) semata (hawa
nafsu) tanpa mengindahkan kaedah-kaedah dan criteria yang berlaku. penafsiran
inilah yang diharamkan oleh Ibn Taimiyah. sebaliknya, keduanya sepakat
membolehkan penafsiran al-Qur'an denagn ijtihad yang berdasarkan al-Qur'an dan
sunnah rasul serta kaedah-kaedah yang mu'tabarat (diakui sah secara
bersama)[18]
Secara bahasa
al-ra'yu berarti al-I'tiqadu (keyakinan) ,al-'aqlu (akal) dan al-tadbiru (
perenungan). Ahli fiqih yang sering berijtihad, biasa disebut sebagai ashab
al-ra'yu. Karena itu tafsir bi al-ra'yu disebut sebagai ashab al-ra'yu. karena
itu tafsir bi al-ra'yi disebut tafsir bi al-'aqly dan bi al-ijtihady, tafsir
atas dasar nalar dan ijtihad.
Menurut istilah,
tafsir bi al-Ra'yi adalah upaya untuk
memahami nash al-Qur'an atas dasar ijtihad seorang ahli tafsir (mufassir ) yang
memahami betul bahasa Arab dari segala sisinya, mengerti betul lafadz-lafadznya
dan dalalahnya, mengerti syair syair Arab sebagai dasar pemaknaan, mengetahui
betul ashab nuzul, mengerti nasikh dan mansukh di dalam al-Qur'an, dan
menguasai juga ilmu-ilmu lain yang dibutuhkan seorang mufassir[19]
Jadi jelas,
bahwa tafsir bir-ra'yi bukanlah sekedar berdasarkan pendapat atau ide semata,
atau hanya sekedar gagasan yang terlintas dalam pikiran seseorang, apalagai
hanya semaunya saja[20]
oleh karana itu
jika menfsirkan al-Qur'an dengan ra'yu (rasio) dan ijtihad semata tanpa ada
dasar yang sahih adalah haram, tidak boleh dilakukan, firman Allah:
وَ لاَتَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ
" dan janganlah kamu mengikuti sesuatu yang padanya
kamu tidak mempunyai pengetahuan" (al-Israa:36)
Rasulullah bersabda;
مَنْ قَالَ فِي الْقُرْانِ بِرَأْيِهِ _ أَوْ بِمَا لاَ يَعْلَم _ فَلْيَتَبَوَّأْ
مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ
"barangsiapa berkata tentang al-QUr'an menurut
pendapatnya sendiri atau menurut apa yang tidak diketahuinya, hendaklah ia
menempati tempat duduknya di dalam neraka[21]
Tentang
penggunaan akal dan pemikiran filsafat secara sehat dan benar, maka hal itu
dibenarkan dalam al-Qur'an, sebagaimana disebutkan dalam al-Qur'an, bahwa bila
kita berdebat dan konfrontasi hendaknya dilakukan secara bijaksana, dan juga
dinyatakan bahwa dalam al-Qur'an terdapat ayat-ayat mutasyabih atau juga
sama-sama di ketahui bahwa sebagian ayat-ayat al-Qur'an dhilalahnya bersifat
zhanni dan untuk mengambil hukum dari padanya diperlukan suatu pemikiran,
demikian pula dalam al-Qur'an terdapat ayat-ayat yang bersifat filosofis, belum
lagi al-Qur'an ditinjau dari segi seni dan sastra Arab.[22]
Untuk
menghindari penafsiran yang menyimpang, dan dalam rangka menjaga mufassir agar
tidak melakukan kesalahan dan menafsirkan al-Qur'an, maka perlu rambu-rambu
atau syarat-syarat bagi seseorang untuk menafsirkan al-Qur'an. berikut ini
syarat-syarat bagi mufassir dalam menafsirkan al-Qur'an:
a. Mengetahui
hadits Nabi baik dari sisi riwayah maupun dirayah
b. mengetahui
bahasa Arab
c. menguasai
ilmu nahwu
d. menguasai
ilmu sharaf
e. mengetahui
sumber pengambilan kata
f.
mengetahahui ilmu balaghah
g. mengetahui
ilmu qira'at
h. mengetahui
ilmu ushuluddin (Islamic Theology), seperti ilmu tauhid
i.
mengetahui ilmu ushul Fikih
j.
mengetahui sebab-sebab turun ayat
k. mengetahui
kisah-kisah di dalam al-Qur'an
l.
mengetahui nasikh dan mansukh
m. harus
mengamalkan apa yang dia ketahui
Dari
syarat-syarat mufassir bir ra'yi diatas. Husein al-Dzahabi meyimpulkan bahawa
ada beberapa ilmu yang harus dikuasai seorang mufassir, yaitu: ilmu bahasa,
ilmu nahwu, ilmu sharaf, ilmu al-Isytiqaq, ilmu al-Ma'ani, Ilmu al-bayan, ilmu
al-badi', ilmu al-Qira'at, ilmu Ushul al-Din, ilmu ushul al-fiqh, ilmu asbab
an-nuzul, ilmu al-qashash, ilmu nasikh dan mansukh, haids-hadis yang
menjelaskan ayat-ayat mujmal dan mubham dan ilmu al-Mauhibah.[23]
Adapun
sumber-sumber penafsiran bir ra'yi sebagai berikut:
a). al-Qur'an
b). mengutip dari
R-asulullah SAW dan menjaga serta menghindari ahis dha'if dan maudhu'
c). mengambil
penafsiran sahabat yang shahih
d). mendasarkan
kepada bahasa Arab, karena al-Qur'an diturunkan dengan bahasa Arab
e). Tafsir yang
dihasilkan harus sesuai dengan makna dzahir kalam dan sesuai dengan kekuatan
hukumnya[24]
Langkah-langkah yang dijadikan rujukan tafsir bir ra'yi:
a. Tafsir
dilakukan sesuai dengan apa yang ditafsirkannya, tanpa pengurangan dan tambahan
yang tidak perlu
b.Teliti dan jeli
melihat makna hakiki dan makna majazi
c. teliti
dalam melihat apa yang tertulis dengan tema atau maksud yang diangkat, yang
sesuai dengan konteks ayat yang sedang ditafsirkan
d. melihat
persesuaian (munasabah)
e. menyebutkan asbab al-nuzul ayat
f.
menganalisis dan menjelaskan mufradat (lafadz-lafadz), dan dirivasinya
serta asal katanya
g.menghindari penjelasan panjang bagi
ppengulangan-pengulangan
h.melakukan tarjih (pengunggulan satu atas yang lain)[25]
Wilayah
ijtihad Tafsir bir Ra'yi sebagai berikut:
a). lafadz (
kata dalam bahasa Arab) kadang maknanya jelas dan kadang juga tidak jelas.
Mufasir harus mengetahui bahwa suatu lafadz senantiasa mengandung makna
relative (beberapa makna), sehingga yang dilakukan muufasir adalah ijtihad
dalam rangka menemukan makna yang dikehendaki
b). kata-kata
yang tidak jelas (mubham) memiliki beberapa tingkatan.Ada lafadz mubham (tidak
jelas) tetapi bisa dijelaskan oleh seorang mufasir. Ini termasuk dalam wilayah
ijtihad tafsir bir ra'yi
c). ada yang
disebut dengan al-khafi yaitu lafadz yang tingkat ketidak jelasannya paling sedikit, sehingga
tidak membebani mufassir untuk menjelaskannya
d). Ada yang disebut
dengan musykil, yaitu lafadz yang tingkat mubhamnya lebih banyak dari
sebelumnya, lebih banyak dari al-khafi. untuk lafadz yang musykil ini,
dibutuhkan ijtihad mufassir
e). ini seperti
bentuk musytarak-satu lafadz mengandung beberapa makna- adalah salah satu
bentuk lafadz al-musykil, yang membutuhkan penjelasan dan penetapan satu makna
saja dari dua atau lebih makna yang terkandung di dalamnya. ini memerlukan
ijtihad seorang mufassir untuk menentukan makna dimaksud
f). wilayah
ijtihad dalam upaya meletakkan atau memposisikan lafadz pada makna
g). wilayah
ijtihad terkait ketika kita beralih pada dalalah al-fadz terhadap makna[26]
Tafsir bir ra'yi dibedakan menjadi dua macam:
1. Tafsir bir
Ra'yi Mahmudah (terpuji)
Tafsir bir
ra'yi yang dianggap terpuji yaitu tafsir yang sesuai dengan tujuan pembuat
hukum (Allah), jauh dari kebodohan dan kesesatan, sejalan engan kaidah-kaidah
bahasa Arab, berpegang pada uslub (susunan) bahasa Arab dalam memahami nash
al-Qur'an. Barang siapa menafsirkan al-Qur'an menurut logikanya dengan
memperhatikan ketentuan-ketentau tersebut, serta berpegang pada makna-makna
al-Qur'an, maka penafsirannya dapat diterima dan patut dinamai dengan tafsir
bir ra'yi mahmud
Contohnya:
وَمَنْ كَانَ فِيْ هَدِهِ أَعْمَى فَهُوَ
فِي الاَخِرَةِ أَعْمَى وَأَضَلُّ سَبِيْلاً
Artinya; "barangsipa yang buta (hati) di (dunia)
ini, niscayaia akan buta pula di akhirat dan lebih sesat jalannya". (QS.
Al-Isra': 72)
Orang
tidak paham akan berpendapat bahwa setiap orang yang buta akan mengalami nasib
celaka, rugi, dan masuk neraka. Padahal yang dimaksudkan buta disini bukanlah
buta mata, melainkan buta hati berdasarkan firman Allah 'Azza wa jalla yang
berbunyi:
فَإِنَّهَا لاَ تَعْمَى اْلاَبْصَارُ وَلَكِنْ
تَعْمَى اْلُقُلُوْبُ الَّتِيْ فِي الصُّدُوْرِ
Artinya : sesungguhnya mereka bukanlah buta mata, tetapi
buta hati yang dalam dada ". (QS al-Haj:46)[27]
2. Tafsir bir
Ra'yi Madzmum (tercela)
Tafsir bir
Ra'yi dianggap tercelaa bila menafsirkan qur'an menurut selera penafsir
sendiri, disamping tidak mengetahui kaidah bahasa dan hukum, atau membawa
firman Allah kepada mazhabnya yang menyimpang atau rusak, atau kepada bid'ah
dhalalah, atau mendalami firman Allah SWT dengan ilmunya tapi tidak mengetahui
kaidah bahasa Arab, maka tafsir model ini ditolak dan termasuk tafsir
al-madzmum (tercela)[28]
Berikut
ini contoh tafsir bir ra'yi al-madzmum:[29]
يَوْمَ تَدْعُوْ كُلَّ أُنَاسِ بِإِمَمِهِمِ فَمَنْ أُوتِيَ كِتَبَهُ
بِيَمِيْنِهِ فَاُلَئِكَ يًقْرَئُونَ كِتَبَهُمْ وَلاَيَظْلَمُوْنَ فَتِيْلاً
Artinya "(ingatlah) suatu hari (yang di hari itu)
kami panggil tiap umat dengan pemimpinnya, dan barangsiapa yang diberikan kitab
amalannya di tangan kanannya maka mereka ini akan membaca kitabnya itu, dan
mereka tidak dianiaya sedikitpun" (QS al-Isra')
Orang
" bodoh" menjelaskan maksud kata الامام dengan الامهات padahal maknanya sangat berbeda.
Diamenduga bahwa kata الامام adalah bentuk plural
(jama') dari kata ام padahal tidaklah
demikian menurut bahasa arab. karena bentuk plural (jama') dari الام adalah امهات, sesuai dengan firman
Allah SWT berikut:
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَتِكُمْ وَبَنَاتُكُمْ وَأَخَوَتُكُمْ وَعَمَّتُكُمْ
وَخَلَتُكُمْ وَبَنَاتُ الاْأَخِ وَتَنَاتُ اْلاُخْتِ وَ أُمَّهَتُكُمُ الَّتِى أَرْضَعْنَكُمْ
Artinya: "Diharamkan atas kamu (mengawini)
ibu-ibumu, anak-anakmu yang perempuan: saudara-saudaramu yang perempuan,
saudara-saudara bapakmu yang perempuan, saudara-saudara ibumu yang perempuan,
anak-anak perempuan dari saudara-saudara yang laki-laki, anak-anak perempuan
dari saudara-saudaramu yang perempuan, ibu-ibumu yang menyusui kamu" (QS.
an-Nisa:23)
Jadi tidak
ada dalam nash al-Qur'an yang menyebut bentuk plural (jama') الام
menjadi امام karena hal ini merusak secara bahasa
maupun hukum. Dan yang dimaksud Imam disini adalah nabi yang diikuti oleh para
pengikutnya
Beberapa
tafsir bi ar-ra’yi yang terkenal antara lain: Tafsir al-Jalalain (karya
Jalaluddin Muhammad Al-Mahally dan disempurnakan oleh Jalaluddin Abdur Rahman As
Sayuthi), Tafsir Al-Baidhawi, Tafsir Al-Fakhrur Razy, Tafsir Abu Suud, Tafsir
An-Nasafy, Tafsir Al-Khatib, Tafsir Al-Khazin[30].
C. Kelebihan dan keurangan Tafsir bil Ma'tsur dan bir
ra'yi
1. Tafsir bil Ma'tsur
kelebihan
Tafisr bil
ma'tsur ini lebih banyak memakai riwayat ketimbang tasfir bir ra'yi. Selain itu
tafsir bil ma'tsur ini diterima dan diriwayatkan dari Nabi, sahabat, dan
tabi'in dari mulut ke mulut dengan menyebutkan para perawinya mulai Nabi SAW
terus kepada perawi terakhir.[31]
Menurut Quraisy Sihab bahwa keistimewaan
tafsir bil ma'tsur adalah
a). menekankan
pentingnya bahasa dalam memahami al-Qur'an
b). memaparkan
ketelitian redaksi ayat ketika menyampaikan pesan-pesannya
c). mengikat
mufasir dalam bingkai teks ayat-ayat, sehingga membatasinya terjerumus dalam
subjektivitas berlebihan[32]
kekurangan
Penafsiran
al-Qur'an dengan sebagiannya dan penafsiran al-Qur'an dengan hadis sahih yang
sampai kepada rasulullah SAW, maka tidak diragukan lagi bisa diterima dan tidak
ada perbedaan, ia merupakan tingkatan tafsir yang tertinggi[33]
Mula-mula
tafsir bil ma'tsur ditulis lengkap dengan sanadnya seperti dalam tafsir
al-Thabari, tapi kemudian bagian sanad dihilangkan sehingga tak diketahui lagi
perbedaan tafsir yang berasal dari Nabi
dan sahabat dengan tafsir isra'iliyyat, yang dipalsukan dan sebagainya[34].
Menurut
adz-Dzahabi israiliyat diartikan sebagi cerita atau berita yang diriwayatkan
dari sumber israil ( Yahudi). Masuknya israiliyat ke dalam penafsiran al-Qur’an
sudah dimulai sejak masa sahabat, yaitu sesaat setelah Rasulullah wafat. Ini didasarkan atas fak ta sejarah bahwa
tokoh-tokoh mufassir al-Qur’an pada masa itu ada yang bertanya dan menerima keterangan-keterangan
dari tokoh-tokoh ahli kitab yang telah masuh Islam, untuk menafsirkan ayat-ayat
tertentu dalam al-Qur’an. Ibnu Abbas, yang terkenal sebagai tokoh mufasir
terkemuka pada masa itu, banyak juga mempergunakan sumber ini dalam karya
tafsirnya[35]
Adapun
contoh dari tafsir israiliyat ini seperti membahas perkara-perkara yang
sebenarnya tidak begitu perlu dan berguna untuk mengetahuinya dalam rangka
penafsiran al-Qur’an, seperi tentang warna anjing (ashabul kahfi) dn namanya,
ukuran perahu nabi Nuh dan jenis kayunya, nama anak kecil yang dibunuh nabi
Khidir dan lain-lain[36]
Ada
beberapa hadis Rasulullah yang dianggap semacam dasar dalam masalah ini,
berikut ini akan dikemukakan tiga buah hadis yang terpenting diantaranya:
a). Hadis
riwayat imam Bukhari dari Abu Hurairah:
كاَنَ اَهْلُ الْكِتَابِ يَقْرَءُوْنَ التَّوْرَةَ
باِلْعَرَابِيَّةِ وَ يَفْسِرُوْنَهَا بِالْعَرَابِيَّةِ ِلأَهْلِ اْلإِسْلاَمِ. فَقاَلَ
رَسُوْلُ اللهِ ص م لاَ تُصَدِّقُوْا أَهْلَ الْكِتَابِ وَ لاَ تُكَذِّبُوْهُمْ وَقُوْلُوْا
اَمَنَّا بِاللهِ ..
Dari hadits ini secara sepintas dapat dipahami bahwa
rasulullah menyurug bersikap “tawaqquf” terhadap berita-berita yang dikemukakan
ahli kitab, yaitu tidak membenarkan dan tidak mendustakan. Akan tetapi, hadis
ini bersifat mujmal sehingga memerlukan perincian lebih jauh, bagaimana
aplikasinya.[37]
b). Hadis
riwayat imam bukhari dari abdullah ibn Amr ibn al-ash.
بَلِّغُوْا عَنِّيْ وَلَوْاَيَةً. وَحَدِّثُوْا
عَنِّىْ بَنِىْ اِسْرَائِيْلَ وَلاَحَرَحَ مَنْ كَذَّبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ
مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ
Hadis ini jelas membolehkan kaum muslimin meriwayatkan
berita-beritadri ahli kitab. Yang dilarang adalah bila mengada-ada dengan
sengaja sesuatu yang tidak benar bersumber dri rasulullah. Hadis ini juga masih
perlu penjelasan terutama dalam hubungannya dengan hadis pertama[38]
c). Hadis
riwayat Imam ahmad, Ibn Abi Syaibah dan bazzar dan Jabir ibn abdillah
أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ أَ تَى النَّبِيَّ ص. م. بِكِتَابِ أَصَابِهِ
مِنْ بَعْضِ أَهْلِ الْكِتَابِ فَقَرَأَهُ عَلَيْهِ فَغَضَبَ فَقَالَ: أمتهُوْكُوْنَ
فِيْهَا يَاابْنَ الْخَطَّابِ. وَالَّذيْ نَفْسِىْ بِيَدِهِ لَقَدْجِئْتُكُمْ بهَا
بَيْضَاءُ نَقِيَّة لاَ تَسْأَلُوْابِهِمْ عَنْ شَيْءٍ فَيُخْبِرُكُمْ بِحَقٍّ فَتُكَذِّبُوْابِهِ
أَنْ يُبَاطِلَ فَتُصَدِّقُوْا بِهِ. وَالَّذِيْ نَفْسِىَ بِيَدِهِ, لَوْ أَنَّ مُوْسَى
. كَانَ حَيَّا مَا وَسَعَهُ اِلاَّ أَنْ يَتَّبِعَنِىْ
Dalam hadis ini ada semacam larangan rasulullah untuk
menanyakan segala sesuatu kepada ahli kitab, karena dikhawatirkan, jika jawaban
mereka itu benar lalu didustakan atau sebaliknya. Jika itu terjadi, akan
menjadi dosa. Hadis ini juga memerlukan penjelasan, utamanya dalam kaitannya
dengan kedua hadis terdahulu, apakah mengandung pertentangan atau tidak.
Tampaknya, para
ahli tidak sependapat dalam memahami hadis ketiga diatas, sehingga terjadi
perbedaan sikap dan penialaian mereka terhadap israiliyat[39]
Mengenai
penafsiran al-Qur'an dengan pendapat-pendapat yang disandarkan kepada para
sahabat dan tabi'in, mengandung banyak kelemahan karena beberapa sebab:
a. banyak
riwayat yang disisipkan oleh musuh-musuh Islam, seperti yang disisipkan oleh
orang-orang zindiq, baik dari bangsa yahudi maupun bangsa persi
b. usaha-usaha
yang dilakukan oleh penganut-penganut mazhab yang terlalu jauh menyimpang dari
kebenaran, seperti yang dilakukan oleh kaum Syiah yang telah menyandarkan
kepada Ali ra
c. bercampur
baurnya riwayat-riwayat yang shahih
dengan tidak shahih dan banyaknya
ucapan-ucapan yang dibangsakan kepada sahabat, atau tabi'in tanpa menyebut
sanad dan tanopa menyaring, sehingga bercampurlah yang hak dengan yang batil
d.
riwayat-riwayat israiliyat yang mengandung dongengan-dongengan yang
tidak dapat dibenarkan[40]
Disisi
lain kelemahan dari tafsir bil ma'tsur adalah
a). Terjerumusnya sang mufasir dalam uraian
kebahasaan dan kesusteraan yang bertele-tele sehingga pesan pokok al-Qur'an
menjadi kabur dicelah uraian itu
b). seringkali
konteks turunnya ayat (uraian asbab al-nuzul atau sisi kronologis turunnya
ayat-ayat hukum yang dipahami dari uraian nasikh/mansukh) hampirdapat dikatakan
terabaikan sama sekali, sehingga ayat-ayat tersebut bagaikan turun bukan dalam
satu masa atau berada di tengah-tengah masyarakat tanpa budaya[41]
2. Tafsir bir ra'yi
Kelebihan:
a. Sesungguhnnya
Allah SWT telah memerintahkan kepada kita agar hendaknya suka merenungkan
Al-Qur'an.. Sebagaimana hal itu termaktub dalam firman-Nya:
كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ إِلَيْكَ مُبَارَكٌ لِيَدَّبَّرُوْا اَيَاتِهِ وَلِيَتَذَكَّرَ أُولُوا ْالاَلْبَابِ
Artinya: (inilah) kitab yang kami turunkan kepada engkau
lagi diberkati, supaya mereka emmperhatikan ayat-ayat dan supaya mendapat
peringatan orang-orang yang berakal" (QS.Shad:29)
dan firman Allah SAW:
أَفَلاَيَتَدَبَّرُوْنَ اْلقُرْانَ أَمْ عَلَى قُلُوْبٍ أَقْفَالُهَا
Artinya : Tidakkah mereka memperhatikan al-Qur'an?bahkan
adakah kunci atas hati (mereka) (QS.Muhammad:24)
"merenung dan berpikir " tidaklah akan terwujud
melainkan dengan menyelami rahasia-rahasia al-Qur'an dan berijtihad untuk
emmahami makna-maknanya.
b. Allah
memerintahkan kepada orang-orang yang hendak menggali hukum agar kembali kepada
ulama'. sebagaimana telah dijelaskan dalam firman-Nya:
وَلَوْ رَدُّوْهُإَلَى الرَّسُوْلِ وَإِلَى أُولِى اْلاَمْرِ مِنْهُمْ
لَعَلِمَهُ الَّذِيْنَ يَسْتَنْبِظُوْنَهُ مِنْهُمْ
Artinya: kalau mereka serahkan hal itu kepada rasul atau pada orang yang
mempunyai urusan di anatar mereka, noscaya orang-orang yang meneliti di antara
mereka mengetahui akan hal ini (QS.An-Nisa:83)
Istinbath berarti
menggali dan mengeluarkan makna-makna yang mendalam yang terdapat di lubuk hati
Istinbath itu hanya bisa dilakukan dengan ijtihad dan menyelami
rahasia-rahasia Al-Qur'an
c. Kalau
tafsir dengan ijtihad tidak diperbolehkan, tentunya ijtihad pun tidak
diperbolehkan, dan tentu saja banyak hukum yang tidak tergali, sungguh ini
tidak benar
d.
Sesungguhnya para sahabat telah emmbaca al-Qur'an dan berbeda beda dalam
menafsirkannya. Juga telah maklum bahwa tidakm semua yang mereka katakana
tentang al-Qur'an tiu mmereka dengar dari nabi SAW, karena Nabi SAW tidak
menerangkan segala sesuatu kepada mereka, melainkan beliau terangkan kepada
mereka hanyalah bersifat dharuri (pokok). Beliau menginggalkan yang sebagain,
yang sekira dapat dicapai oleh pengetahuan, akal, dan ijtihad[42]
kekurangan:
a). Sesungguhnya
tafsir bir-ra'yi adalah mengatakan sesuatu tentang kalamullah tanpa berdasarkan
suatun ilmu, ini jeklas dilarang. Sebagaimna yang disinggung dalam firman Allah
SWT
وَاَنْ تَقَولُوا عَلَى اللهِ مَالاَتَعْلَمُوْنَ
Artinya: ….. dan (supaya kamu) mengadakan perkataan Allah tentang sesuatu
yang tidak kamu ketahui
b). Adanya
ancaman sebagaimana tersebut dalam hadis bagi orang yang menafsirkan AL-Qur'an
dengan pendapatnya, yaitu sabda nabi SAW, yang berbunyi:
اِتَّقُوا الحَدِيْثَ عَلَيَّ إِلاَّ مَا
عَلِمتُمْ فَمَنْ كَذَّبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ
وَمَنْ قَالَ فِي الْقُرْاَنِ بِرَأْيِهِ فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ
Artinya :
takutlah engkau mengadakan perkataan terhadapku, kecualai apa yang engkau tahu.
barangsiapa berdusta atas aku dengan sengaja, maka ambil saja tempat duduknya
di neraka. Dan barangsiapa berkata tentang al-Qur'an dengan pendapatnya, maka
ambillah saja tempat duduknya di neraka (HR at-Turmudzi)
c). Firman Allah
SWT
وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ للنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ
وَلَعَلَّهُوْ يَتَفَكَّرُوْنَ
Artinya : Dan Kami turunkan kepada engkau peringatan
(al-Qur'an), supaya engkau terangkan kepada manusia apa yang diturunkan kepada
mereka, mudah-mudahan mereka memikirkannya (QS.an-Nahl;44)
Pada ayat itu Allah menyandarkan keterangan kepada
rasulullah SAW, karena itu dapatlah diketahui bahwa tidak ada bagi selain
beliau yang mampu memberikan keterangan terhadap makna-makna al-Qur'an
d). Para sahabat
dan tabi'in tidak mau berkata sesuatu tentang al-Qur'an dengan pendapat mereka.
Telah diriwayatkan dari Ash-Shidiq, sesunggunya dia berkata:
أَيُّ سَمَاءٍ تُظِلُّنِيْ : وَأَيُّ اَرْضٍ
تُقِلُّنِيْ : إِذَا قُلْتُ فِي الْقُرْانِ بِرَأءيِي أَوْ قُلْتُ فِيْهِ بِمَا لاَ
اَعْلَمُ
Artinya: di
langit mana aku bernaung dan di bumi mana aku berpijak? bila aku berkata
sesuatu tentang al-Qur'an dengan pendapatku, atau berkata tentang al-Qur'an
dengan sesuatu yang tidak kuketahui?[43]
III KESIMPULAN
1. Tafsir bil
ma'tsur diartikan sebagai tafsir yang dilakukan dengan jalan riwayat, yakni
tafsir al-Qur'an dengan al-Qur'an, hadits, pendapat sahabat, atau tabi'in.
Tafsir bir ra'yi didefinisikan sebagai upaya menyingkap isi kandungan al-Qur'an
dengan ijtihad yang dilakukan dengan mengapresiasi eksistensi akal.
2. Dalam
tafsir bil ma’tsur, penafsiran al-Qur’an dengan al-Qur’an atau haidts dan
sahabat tidak ada beda pendapat tentang kevalidannya di kalangan ulama’, namun
tafsir para tabi'in ada perbedaan pendapat dikalangan ulama'. sebagain ulama'
berpendapat, tafsir itu termasuk ma'tsur karena para tabi'in berjumpa dengan
para sahabat. Ada pula yang berpendapat, tafsir itu sama saja dengan tafsir bir
ra'yi (penafsiran dengan pendapat). Artinya, para tabi'in itu mempunyai
kedudukan yang sama dengan mufassir yang hanya menfsirkan berdasarkan kaidah bahasa
Arab
3. Tafsir bi
al-Ra'yi adalah upaya untuk memahami
nash al-Qur'an atas dasar ijtihad seorang ahli tafsir (mufassir ) yang memahami
betul bahasa Arab dari segala sisinya, mengerti betul lafadz-lafadznya dan
dalalahnya, mengerti syair syair Arab sebagai dasar pemaknaan, mengetahui betul
ashab nuzul, mengerti nasikh dan mansukh di dalam al-Qur'an, dan menguasai juga
ilmu-ilmu lain yang dibutuhkan seorang mufassir
4. Tafsir
dibedakan menjadi 2: (1) Tafsir bir ra'yi mahmudah (terpuji) yaitu tafsir yang
sesuai dengan tujuan pembuat hukum (Allah), jauh dari kebodohan dan kesesatan,
sejalan engan kaidah-kaidah bahasa Arab, berpegang pada uslub (susunan) bahasa
Arab dalam memahami nash al-Qur'an (2) Tafsir bir ra’yi amdzmum Tafsir bir
Ra'yi ialah tafsir dianggap tercela bila menafsirkan qur'an menurut selera
penafsir sendiri, disamping tidak mengetahui kaidah bahasa dan hukum, atau
membawa firman Allah kepada mazhabnya yang menyimpang atau rusak, atau kepada
bid'ah dhalalah, atau mendalami firman Allah SWT dengan ilmunya tapi tidak
mengetahui kaidah bahasa Arab
5. Tafsir
bir-ra'yi bukanlah sekedar berdasarkan pendapat atau ide semata, atau hanya
sekedar gagasan yang terlintas dalam pikiran seseorang, apalagi hanya semaunya
saja
6. Jika menfsirkan
al-Qur'an dengan ra'yu (rasio) dan ijtihad semata tanpa ada dasar yang sahih
adalah haram, tidak boleh dilakukan,
7. Para ulama’
beda pendapat tentang penggunaan tafsir bir ra’yi ada yang menerima dan ada
yang menolak.
Sikap Penulis dalam menyikapi Tafsir bil Ma’tsur dan bir
Ra’yi
Penulis
sependapat dengan argumen yang mengatakan hadis bil ma’tsur derajatnya lebih
tinggi dari pada hadis bir ra’yi karena hadis bil ma’tsur ini lebih
mengedepankan riwayat dan tidak mengedepankan akal sehingga kevalidan tafsir
tersebut lebih bisa dikatakan mendekati kebenarannya
Dalam menyikapi
pendapat yang mengatakan tafsir bil ma’tsur para tabi’in ada yang kurang
setuju, penulis kira hal itu perlu di kaji dan di teliti lebih dalam, karena
penulis beranggapan tentunya para tabi’in tidak serta menerta menafsrikan
al-Qur’an jika tidak ada dasar yang kuat dan tentunya juga mengacu kepada
pendahulunya yakni sahabat, karena dalam masa tabi’in ini juga masih bisa
menjumpai masa-masa sahabat
Tafsir bir
Ra’yi tentunya tidak hanya mengandalkan rasio belaka karena tentunya hasil
tafsirnya tidak diterima, namun dalam hal ini tafsir bir ra’yi selain juga
menggunakan akal juga dikuatkan beberapa dasar seperti al-Qur’an, hadis,
pendapat sabahat dan lain-lain
Penggunaan
tafsir bir ra’yi pun harus selektif, karena ini bisa dimungkinkan isi dari
tafsirnya terdapat subjektifitas dari penulis sehingga perlu dilakukan telaah
dan kajian yang mendalam terdahap isi tafsir bir Ra’yi tersebut.
Penulis
berpendapat antara tafsir bil ma’tsur dengan tafsir bir Ra’yi ada titik temunya
karena ketika tafsir itu di tinjau dari riwayatnya tidak valid dan ada
keragu-raguan, tentunya bisa digunakan penafsiran dengan jalan ijtihad (tafsir
bir ’ra’yi) namun ijtihad tersebut di dukung dengan dasar yang menguatkan,
seperti al-Qur’an, hadis, dan lain-lain
Tidak ada komentar:
Posting Komentar